Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta beramal salih akan menerima pahala dari Tuhan mereka; tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS al-Baqarah [2]: 62).
Adapun kata al-ladzîna hâdû merujuk kepada pemeluk agama Yahudi.[10] Menurut az-Zujaj, secara bahasa kata hâdû bermakna tâbû (bertobat).[11] Mereka dinamai demikian karena mereka pernah bertobat setelah melakukan penyembahan terhadap al-ijl (patung sapi betina). Al-Quran menyitir pernyataan mereka: Inna hudnâ ilayk” (Sesungguhnya kami kembali [bertobat] kepada Engkau) (QS al-A‘raf [7]: 156). Demikian penjelasan Ibnu Mas‘ud.[12]
Kata an-Nashârâ bentuk jamak dari kata Nashrani.[13] Mereka adalah para pengikut Nabi Isa as. Disebut Nashrani karena di antara mereka yang menjadi pengikut setianya—al-hawariyyin—pernah menyanggupi permintaan Isa as. untuk menjadi anshâr Allâh. Allah Swt. mengabadikan jawaban mereka: Nahnu anshâr Allâh (Kami adalah penolong-penolong agama Allah) (QS Ali Imran [3]: 52, ash-Shaff [61]: 14). Ada pula yang mengaitkan sebutan Nasrani dengan nama daerah kelahiran Isa yang dikenal dengan Nâshirah (Nazareth).[14]
Para mufassir berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan ash-Shâbi’în. Menurut Wahab bin Munabbih, mereka adalah kaum yang mengetahui keesaan Allah, tidak memiliki syariah yang diamalkan, dan tidak membicarakan kekufuran. Ibnu Zaid menuturkan, mereka adalah pemeluk suatu agama di daerah Mosul. Mereka mengucapkan kalimat: Lâ ilâha illâ Allâh. Mereka tidak memiliki amal, kitab, dan nabi kecuali kalimat tauhid itu. Oleh karena itu, kaum musyrik pernah menyebut Nabi saw. dan para Sahabatnya sebagai shâbi’ûn karena menyerupai mereka dalam kalimat: Lâ ilâha illâ Allâh.[15]
No comments:
Post a Comment